Mengakhiri Rasa
Sejujurnya aku
tidak pernah setuju jika diri ini memintaku untuk mengakhiri sebuah perasaan
terhadap seseorang yang bahkan belum sempat aku miliki. Sebatas hubungan pertemanan yang seharusnya
memang tetap menjadi teman. Bukan diam-diam aku menaruh sebuah perasaan
kemudian menghamba dengan harapan-harapan yang semakin melambung bebas.
Aku yang telah
berdosa di sini. Memiliki rasa diam-diam tanpa pernah diketahui oleh Sang Tuan.
Mengagumi diam-diam tanpa pernah berniat untuk mengatakannya. Aku memang
pengecut perihal rasa yang hanya bisa bersembunyi di balik dinding yang telah
kubuat sendiri.
Bukan. bukan aku
tidak berani atau gengsi. Aku terlalu takut jika hadirnya rasaku ini membuat
dinding pertemanan kita rontok begitu saja. Aku cukup tahu diri dengan strataku
yang hanya sebatas teman. Bukannya aku yang tidak percaya diri untuk
mengungkapkan. Sekali lagi, kutekankan kalau aku cukup tahu diri untuk tidak
menyatakan.
Aku memilih diam
sebab aku tidak ingin tersakiti dua kali dengan sebuah penolakan. Aku tidak
ingin menambah ketersiksaan pada batinku yang kian hari semakin malang karena tahu
rasanya tidak berbalas. Menyukainya dalam diam saja batinku sudah
meronta-meronta.
Seharusnya sedari
awal aku tidak boleh menaruh perasaan pada seseorang yang hatinya telah di
patri oleh puan lain. Lagi-lagi hati ini selalu saja tidak tahu diri. Mendamba pada
yang bukan seharusnya didamba.
Daripada hatiku
tersiksa ribuan kali lebih baik aku mengakhiri sebuah rasa yang tidak bisa
menjadi nyata. Kemudian menghapus asa yang sempat kurajut oleh benang yang
kucipatakan oleh diriku sendiri.
Lain kali hatiku
harus kuajarkan caranya untuk tahu diri jika ingin menyukai seseorang. Agar esok
lusa jika kudapati hatiku menaruh rasa diam-diam seperti ini lagi, aku sudah
tahu cara melangkah mundur dengan pasti tanpa tersakiti kembali.
Kuharap setelah
penghapusan rasa ini, kau tidak datang untuk memintaku mencintaimu diam-diam
lagi. Karena diriku sudah lelah untuk bersembunyi tanpa berniat untuk kaucari.
Comments
Post a Comment