Hati-Hati

"Hati-Hati." Kataku singkat sambil mencuri tatap garis wajahmu yang kutebak seperti sedang sendu.

Entah memang raut wajahmu yang tidak pernah terlihat bahagia atau aku yang salah kira?

Masih terngiyang jelas dalam isi kepala bagaimana aku mengatakan kalimat singkat itu. Setelah pembicaraan kita selesai mengenai perpisahan yang bagiku tidak pernah ada jawaban darimu atau kalimat persetujuan yang terucap.

Seolah-olah di akhir cerita, aku yang paling banyak menuai luka di hatimu. Iya, memang kuakui. Namun aku tahu, kata maaf tidak akan pernah cukup untukmu.

Sudah menjadi bagian dari cerita kalau melihat seseorang menderita justru kita malah berbahagia. Apa itu juga berlaku untukmu?

Lalu, bagaimana dengan perpisahan kita?

Apakah kamu sungguh menyetujuinya?

Aku tidak pernah menyetujui perpisahan ini, sungguh. Tetapi justru aku yang meminta padamu untuk menyudahi cerita kita tanpa sempat menuliskan bab selanjutnya tentang bahagia memilikimu.

Bukankah ini lucu? Bagaimana bisa aku memintamu untuk pergi kalau aku sendiri tidak menginginkannya?

Maka, bukan selamat tinggal yang kukatakan padamu. Melainkan kalimat hati-hati yang kulontarkan.

Bukan tanpa maksud. Justru kalimat itu menyimpan sebuah pesan yang tidak akan pernah kamu ketahui. Sampai kamu menemukan versi baru dariku yang lebih baik, kamu tidak akan tahu.

Aku hanya ingin memberi tahu isi dari kalimat tersebut. Entah akan dibaca olehmu atau tidak, aku tidak peduli. Tapi kuharap ada seseorang yang membantuku untuk memberitahu. Semoga.

Ah, kuharap setelah menulis ini semesta langsung menuliskan surat untuknya. Semoga kali ini suratnya tidak terkena angin atau tersentuh oleh hujan.

"Hati-Hati."

Comments

Popular Posts