Sayap-Sayap Patah
Kupandangi diriku mulai dari atas kepala hingga ujung kaki di hadapan cermin setinggi seratus enam puluh sentimeter berwarna putih ala-ala cermin aesthetic yang di setiap sisinya kuhiasi dengan lampu tumblir berwarna vintage menambah kesan senduku pada malam itu.
Kuamati dengan seksama setiap sudut diriku dengan kedua mataku yang minusnya semakin bertambah karena kebiasaan burukku yang gemar sekali bermain gadget dalam keadaan gelap. Ada lubang-lubang kecil di beberapa bagian diriku. Meskipun lubang itu berukuran kecil dan tak kasat mata namun itu dapat membuatku kehilangan kepercayaan diri yang berujung membenci diriku yang penuh dengan lubang.
Melihat teman sekolahku dulu yang suka kuanggap bodoh, pemalas dan hanya bermodal tampang saja hanya karena dirinya tidak menunjukan kemampuannya lantas sekarang ia bergerak maju selangkah di depan diriku. Ia bahkan lebih terlihat ‘cantik dan sukses.’
Kuakui sikap buruk yang tinggal bersamaku ini selalu menyombongkan diri untuk sesuatu yang sebenarnya tidak ada di dalam diriku. Aku yang haus akan validasi dan atensi sangat senang apabila diberi tepuk tangan serta pujian.
Tetapi setelah kuberkaca, ternyata aku hanya seekor burung yang sayapnya patah dan kupaksa untuk tetap terbang hingga aku menyadari bahwa aku saat ini sedang kesakitan.
Aku masih tidak mengerti mengapa orang-orang berlari sangat cepat atau sebenarnya langkahku yang lambat? Aku merasa kakiku tidak bergerak maju dan tetap pada posisi yang sama. Ternyata aku hanya melangkah di tempat dan melihat mereka yang berlari. Dan kemudian tersisa hanya diriku yang memandangi punggung-punggung yang tengah sibuk berlari.
Aku sudah tertinggal dengan sayap-sayapku yang patah dan makian orang-orang yang tidak bisa kubantah.
Comments
Post a Comment