Ibu Berhak Bahagia

Aku bangun pukul 4 pagi. Langit masih terlihat sangat gelap tetapi ayam sudah bersuara dari pukul 1 malam. Mungkin ingin membangunkan manusia untuk segera bersimpuh di kaki Tuhan meminta ampunan. 

Kulihat layar ponselku yang kosong. Hanya berwarna hitam dan waktu yang menampilkan sudah pukul 5 pagi. Kebiasaanku ketika bangun pasti tidur lagi karena penyakit insomniaku yang mulai kambuh kala seisi kepala mulai bising ditengah malam. 

Tidak ada istirahat yang benar-benar istirahat. Aku harus kembali kepada rutinitas-rutinitas yang membosankan. Apakah menjadi manusia harus melakukan rutinitas yang itu-itu saja? Atau memang sebenarnya aku yang cepat bosan dan tidak bisa menemukan hal-hal baru yang aku suka?

Sebuah pesan muncul di layar notifikasi

“Kak, Ibu marah-marah lagi.” 

Lagi dan lagi, pesan itu muncul setiap pagi di pukul 7 ketika aku sedang duduk di halte menunggu bus kota. 

Aku suka ketika menunggu bus kota di halte, karena setiap aku menunggu waktu berjalan begitu cepat. Aku ingin segera sampai di tempat tujuan walaupun tempat yang kutuju belum tentu setuju untuk kutinggali.

“Ibu minta uang, Kak. Kakak ada uang?”

Ingin sesekali kujawab “Tidak ada” tetapi aku takut jawabanku akan menjadi sebuah doa yang dikabulkan. Aku tidak mau, meskipun sebenarnya uangku hanya cukup untuk ongkos transportasi dan makan sampai dua minggu ke depan. 

“Iya, nanti uangnya kutransfer.”

Aku tahu sebab Ibu seringkali marah kepada anak-anaknya. Aku tahu mengapa Ibu lebih memilih untuk meluapkan amarahnya yang meledak-ledak dibandingkan memendamnya dalam diam. Aku tahu, karena sesuatu yang kerap kali dipendam justru hanya menimbulkan sesak berkepanjangan dan menjadi bom waktu kala diri sudah tidak bisa mengontrol kewarasan. 

Iya, Ibu mengalami depresi yang berkepanjangan. Selama menikah dengan Bapak Ibu tidak pernah dibuat bahagia. Ibu terpaksa menikah dengan Bapak karena sebuah kecelakaan. Bukan kecelakaan antara pengendara satu dengan pengendara lainnya yang bertabrakan. Kecelakaan yang kumaksud adalah hamil diluar nikah.

Sebenarnya Bapak tidak pernah mencintai Ibu sama sekali. Ia bahkan tidak bisa memperlakukan Ibu layaknya memperlakukan perempuan dengan benar. Aku juga tahu bahwa Bapak menikahi Ibu hanya sebatas rasa bersalah dan bertanggungjawab karena menghamili anak orang. 

Cih, kalau memang merasa bertanggungjawab seharusnya ia memperlakukan Ibu dengan baik. 

Batinku ketika mendengar cerita dari Bude yang sekaligus menamparku ketika tahu bahwa aku adalah anak hasil kecelakaan. Rasanya seperti ada yang merajam tubuhku dan menusukku dengan pedang. Sesak. Gemeteran. Tidak percaya. Kupikir ini hanyalah lelucon siang bolong. Tidak, ini kenyataannya. Kenyataan yang harus kuhadapi meskipun sangat sulit untuk menerimanya. 

Aku jadi semakin mengerti tentang Ibu. Seharusnya aku tidak perlu dilahirkan ke dunia kalau itu hanya menambah beban Ibu. Kasihan, karena aku hidup Ibu berada di dalam kesakitan. Ibu berhak bahagia seharusnya.

Dan aku memang tidak berhak bahagia di atas penderitaan Ibu. 



Comments

Popular Posts